Terus turunnya harga sapi lokal dipasaran dan minimnya permintaan sapi lokal di RPH-RPH akibat dari terus turunnya pemotongan sapi bisa mengakibatkan lesunya gairah peternak sapi lokal dalam melakukan usaha peternakannya. Apabila peternak rakyat sudah lesu maka efek berikutnya adalah Indonesia akan semakin tergantung dengan pasokan impor. Hal ini mengemuka dalam diskusi yang digelar pusat kajian pertanian pangan dan advokasi di Jakarta, berikut berita selengkapnya yang dimuat dalam harian kompas.
Peternakan Sapi Lokal Terancam Bangkrut, Pemerintah Perlu Memberikan Insentif kepada Peternak
Usaha peternakan sapi lokal kian lesu dan terancam bangkrut seiring turunnya harga jual daging hidup di tingkat peternak beberapa bulan terakhir. Kondisi ini disebabkan produk daging beku impor yang telah menyebar hingga ke pasar-pasar tradisional. Sejumlah pembibit, peternak, pengelola rumah pemotongan hewan (RPH), dan pedagang daging sapi dari Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur menyampaikan kecemasan atas kondisi tersebut dalam diskusi yang digelar Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) di Jakarta, Jumat (28/4).
Hadir sebagai pemateri dalam diskusi tentang kesejahteraan peternak sapi lokal antara lain Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf, wakil dari Komisi IV DPR Herman Khaeron, Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Fajar Sumping Tjaturasa, dan Dekan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Ali Agus. Edy Wijayanto, jagal di RPH Tapos, Jawa Barat, menyebutkan, pasokan sapi dari peternak sebenarnya lancar setahun terakhir. Namun, permintaan dari pasar terus turun. ”Sebelumnya biasa memotong lima hingga delapan ekor sapi per hari, sejak enam bulan lalu berkurang menjadi empat ekor per hari. Sekarang malah tinggal satu atau dua ekor per hari,” ujarnya. Karnadi, perwakilan dari RPH di kawasan Jabodetabek menambahkan, permintaan daging sapi lokal dari pedagang terus turun sejak beredarnya daging beku impor. Jumlah sapi yang dipotong pun turun dari 80 hingga 90 ekor per hari menjadi 25 hingga 30 ekor per hari.
Lesunya permintaan menggerus harga jual di tingkat peternak. Joko Utomo, peternak sapi potong asal Jawa Timur, menyebutkan, biaya produksi penggemukan sapi setidaknya Rp 45.000 per kilogram hidup. Namun, harga sapi siap potong di tingkat peternak di wilayahnya kini berkisar Rp 40.000 per kg hidup. Nanang Purus Subendro, perwakilan peternak sapi asal Lampung, menambahkan, peternak membeli sapi bakalan dengan bobot 300 kg seharga Rp 52.000 per kg. Namun, setelah digemukkan hingga bobot 450-500 kg selama sekitar empat bulan harga jual hidup hanya Rp 45.000 per kg. Sejumlah peternak khawatir, jika peternak terus rugi, peternak dan pembibit terdemotivasi. Akibatnya, Indonesia makin tergantung daging impor.
Perlu insentif
Tingginya biaya produksi dinilai membuat harga daging sapi lokal sulit bersaing dengan daging impor. Menurut Syarkawi, berdasarkan penelusuran KPPU, faktor harga sapi bakalan dan pakan sebagai input produksi berpengaruh dominan terhadap harga yang terbentuk. Sayangnya, harga sapi bakalan relatif tinggi, yakni Rp 50.000 per kg. Harga jual sapi bakalan, menurut Syarkawi, turut dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Dia mencontohkan larangan penjualan sapi bakalan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur ke luar daerah sehingga permintaan bertumpu ke Jawa Tengah.
Kebijakan di tahun-tahun sebelumnya juga berdampak pada berkurangnya pasokan sapi bakalan lokal sehingga harga terdongkrak. Senada dengan Syarkawi, Ali Agus menilai pemerintah perlu memberi insentif buat peternak antara lain bagi sapi lahir, subsidi pakan, dan bantuan modal perbankan berbunga rendah. Selain itu, pemerintah juga perlu memperbaiki data sehingga perhitungan jumlah kebutuhan daging bisa diketahui dengan tepat. Pemerintah juga perlu mengawasi peredaran daging impor. Sejumlah pelaku usaha menduga daging impor sudah masuk hingga ke pasar-pasar tradisional. Akibat pembeli beralih ke daging impor yang harganya Rp 80.000 per kg, dibandingkan daging lokal di atas Rp 110.000 per kg. Fajar Sumping menambahkan, pemerintah telah berupaya menggenjot sapi bakalan melalui program khusus dengan target 3 juta ekor, memberikan layanan gratis untuk penanganan gangguan reproduksi, asuransi ternak betina, serta impor sapi bakalan. Selain itu, impor daging dibatasi untuk menutup kekurangan yang tidak bisa dipenuhi oleh sapi lokal. ”Kebutuhan daging untuk konsumsi mencapai 604.000 ton setahun. Sementara yang bisa dipenuhi peternak lokal baru 354.700 ton. Artinya, ada kekurangan yang harus dipenuhi dari impor,” katanya.
Sumber: Kompas.com
Peternakan Sapi Lokal Terancam Bangkrut, Pemerintah Perlu Memberikan Insentif kepada Peternak
Usaha peternakan sapi lokal kian lesu dan terancam bangkrut seiring turunnya harga jual daging hidup di tingkat peternak beberapa bulan terakhir. Kondisi ini disebabkan produk daging beku impor yang telah menyebar hingga ke pasar-pasar tradisional. Sejumlah pembibit, peternak, pengelola rumah pemotongan hewan (RPH), dan pedagang daging sapi dari Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur menyampaikan kecemasan atas kondisi tersebut dalam diskusi yang digelar Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) di Jakarta, Jumat (28/4).
Hadir sebagai pemateri dalam diskusi tentang kesejahteraan peternak sapi lokal antara lain Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf, wakil dari Komisi IV DPR Herman Khaeron, Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Fajar Sumping Tjaturasa, dan Dekan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Ali Agus. Edy Wijayanto, jagal di RPH Tapos, Jawa Barat, menyebutkan, pasokan sapi dari peternak sebenarnya lancar setahun terakhir. Namun, permintaan dari pasar terus turun. ”Sebelumnya biasa memotong lima hingga delapan ekor sapi per hari, sejak enam bulan lalu berkurang menjadi empat ekor per hari. Sekarang malah tinggal satu atau dua ekor per hari,” ujarnya. Karnadi, perwakilan dari RPH di kawasan Jabodetabek menambahkan, permintaan daging sapi lokal dari pedagang terus turun sejak beredarnya daging beku impor. Jumlah sapi yang dipotong pun turun dari 80 hingga 90 ekor per hari menjadi 25 hingga 30 ekor per hari.
Lesunya permintaan menggerus harga jual di tingkat peternak. Joko Utomo, peternak sapi potong asal Jawa Timur, menyebutkan, biaya produksi penggemukan sapi setidaknya Rp 45.000 per kilogram hidup. Namun, harga sapi siap potong di tingkat peternak di wilayahnya kini berkisar Rp 40.000 per kg hidup. Nanang Purus Subendro, perwakilan peternak sapi asal Lampung, menambahkan, peternak membeli sapi bakalan dengan bobot 300 kg seharga Rp 52.000 per kg. Namun, setelah digemukkan hingga bobot 450-500 kg selama sekitar empat bulan harga jual hidup hanya Rp 45.000 per kg. Sejumlah peternak khawatir, jika peternak terus rugi, peternak dan pembibit terdemotivasi. Akibatnya, Indonesia makin tergantung daging impor.
Perlu insentif
Tingginya biaya produksi dinilai membuat harga daging sapi lokal sulit bersaing dengan daging impor. Menurut Syarkawi, berdasarkan penelusuran KPPU, faktor harga sapi bakalan dan pakan sebagai input produksi berpengaruh dominan terhadap harga yang terbentuk. Sayangnya, harga sapi bakalan relatif tinggi, yakni Rp 50.000 per kg. Harga jual sapi bakalan, menurut Syarkawi, turut dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Dia mencontohkan larangan penjualan sapi bakalan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur ke luar daerah sehingga permintaan bertumpu ke Jawa Tengah.
Kebijakan di tahun-tahun sebelumnya juga berdampak pada berkurangnya pasokan sapi bakalan lokal sehingga harga terdongkrak. Senada dengan Syarkawi, Ali Agus menilai pemerintah perlu memberi insentif buat peternak antara lain bagi sapi lahir, subsidi pakan, dan bantuan modal perbankan berbunga rendah. Selain itu, pemerintah juga perlu memperbaiki data sehingga perhitungan jumlah kebutuhan daging bisa diketahui dengan tepat. Pemerintah juga perlu mengawasi peredaran daging impor. Sejumlah pelaku usaha menduga daging impor sudah masuk hingga ke pasar-pasar tradisional. Akibat pembeli beralih ke daging impor yang harganya Rp 80.000 per kg, dibandingkan daging lokal di atas Rp 110.000 per kg. Fajar Sumping menambahkan, pemerintah telah berupaya menggenjot sapi bakalan melalui program khusus dengan target 3 juta ekor, memberikan layanan gratis untuk penanganan gangguan reproduksi, asuransi ternak betina, serta impor sapi bakalan. Selain itu, impor daging dibatasi untuk menutup kekurangan yang tidak bisa dipenuhi oleh sapi lokal. ”Kebutuhan daging untuk konsumsi mencapai 604.000 ton setahun. Sementara yang bisa dipenuhi peternak lokal baru 354.700 ton. Artinya, ada kekurangan yang harus dipenuhi dari impor,” katanya.
Sumber: Kompas.com